Advertisement

Main Ad

Belinda: Lelaki Bernama Mahendra



Sore itu, hujan turun begitu deras dan langit begitu gelap, meskipun malam belum benar-benar jatuh. Belinda mendapatkan dua tamu saat itu. Seekor kucing berwarna hitam pekat dengan mata biru dan seorang lelaki bernama Mahendra.

                “Aku mencari-carinya dari rumah ke rumah,”cerita Mahendra, ketika Belinda bertanya mengenai anak kucing yang masih mendengkur di atas batalan kursi. “Setiap rumah aku datangi. Mengetuk satu pintu dan pintu lain, bertanya apakah melihat anak kucing berwarna hitam dan bermata biru.”

                Belinda menuangkan teh rosella yang baru mendidih ke dalam cangkir, lalu menyodorkannya ke arah Mahendra; lelaki yang baru dikenalnya. Aroma teh rosella memenuhi ruangan, berbaur menjadi satu dengan aroma hujan. Keduanya berada di dalam dapur, duduk di meja makan bersisihan dengan anak kucing yang masih terlelap.

                Mahendra mengangguk dan berkata, “Terima kasih.”Belinda membalasnya dengan senyuman. 

                “Bagaimana kalau kau tidak menemukan dia di rumahku? Atau aku pulang terlambat,”tanya Belinda. Dia menarik kursi pada sisi lain meja, berdekatan dengan anak kucing. Mereka berdua dipisahkan oleh anak kucing bermata biru. 


                Mahendra menyentuh kepala anak kucing itu dengan lembut. Lelaki itu tersenyum kecil. Dari dekat, Belinda bisa melihat lesung pipi yang samar. “Aku akan pulang dan bicara kepada nenekku bahwa anak kucingnya tidak bisa kutemukan.”

                “Sejujurnya, aku sudah ingin menyerah. Lagi pula, hari sudah sore. Lalu, hatiku tergerak ke sini. Ke rumahmu yang jauh dari rumah-rumah yang lain,”tambah Mahendra. Dia menyentuh cangkir teh yang hangat, mengangkatnya dan mengyesapnya. “Enak sekali,”ucapnya. 

                “Aku memungut bunga-bunga itu ketika membeli apel,”cerita Belinda. 

                “Di perkarangan rumah nenekku juga ada bunga-bunga ini.”

                “Kau tinggal bersama nenekmu?”tanya Belinda. Dia meraih cangkirnya sendiri, menghidu aroma bunga rosella, kemudian menyesapnya. Saat itulah, Mahendra tersenyum lagi, memamerkan lengsung pipinya yang sangat samar. 

                “Kenapa?”tanya Belinda heran. “Ada yang aneh?”

                “Kau begitu menikmati minum teh,”jawab Mahendra. “Dan kau menutup matamu ketika menyesap minuman itu.”

                “Ah, benarkah?”tukas Belinda,”aku tidak menyadari hal itu.”

                “Tentu saja, karena kau tidak bisa melihat diri sendiri.”Mahendra mengetuk-ketukan jari telunjuknya pada cangkir. “Aku baru saja pindah ke sini, ke rumah nenekku. Sebelumnya, aku di Mojokerto kota.”

                “Begitu.”

                “Ya, nenekku tinggal seorang diri. Kebetulan, aku dipindah tugas.”

                Belinda melihat ke arah Mahendra yang berbalik menatapnya. Keduanya diam beberapa detik, lalu Mahendra berkata, “Aku polisi.”

                “Ah, polisi rupanya.”

                “Ya.”

                “Pantas saja kau gigih mencari anak kucing ini,”Belinda menyentuh bulu-bulu halus anak kucing berbulu hitam itu. 

                Mahendra tertawa. “Ya, mungkin karena itu.”

                “Jadi, bagaimana dengan kau?”tanya Mahendra. Belinda menautkan kedua alisnya. “Aku polisi, bagaimana dengan kau?”

                Belinda tersenyum. “Penulis.”

                “Ah,”tukas Mahendra antusias. “Keren sekali,”pujinya tulus. “Jadi, apa yang kau tulis?”

                Thriller,”jawab Belinda, “Sesekali aku menulis roman.”

                Terlihat jelas, Mahendra semakin mengagumi perempuan di depannya. “Sudah berapa banyak buku yang kau hasilkan?”

                “Sekitar dua puluh buku,”jawab Belinda. “Tahun ini akan tambah satu lagi,”tambahnya. 

                “Luar biasa.”

                Belinda tersenyum, “Aku hanya melakukan apa yang aku bisa dan aku sukai,”dia mengambil jeda, “tak ada yang istimewa. Kebetulan apa yang aku sukai menghasilkan. Itu saja.”

                “Itu keren,”puji Mahendra. “Tak banyak orang bisa melakukan apa yang disukainya.”

                “Lalu, bagaimana dengan kau? Kau menyukai pekerjaanmu?”

                Mahendra tersenyum, “Tidak. Tapi, profesi polisi banyak disukai orang, jadi aku belajar menykainya.”Dia tersenyum. 

                “Pasti berat.”

                “Sangat.”

                “Siapa nama anak kucing ini?”Belinda mengalihkan pembicaraan.

                Mahendra menautkan kedua alisnya, lagi-lagi dia tersenyum. “Aku tidak tahu,”jawabnya jujur. “Nenekku punya dua induk kucing. Kucing pertama punya empat anak, sekarang tinggal dua. Satunya lagi, baru saja melahirkan empat ekor anak. Dan dia satu-satunya anak kucing yang bermata biru dan berwarna hitam gelap.”

                “Begitu rupanya.”

                Mahendra melihat ke arah Belinda, perempuan itu tersenyum sembari mengelus-elus anak kucing itu. Anak kucing hanya menggeliat, kemudian dia terbangun. “Akhirnya kau bangun, Tukang Tidur,”seru Belinda. Ia meraih anak kucing itu dengan perlahan dan digendongnya. “Boleh kuberi dia nama?”


                “Tentu,”sahut Mahendra. Di luar, hujan mulai reda dan malam pun jatuh sepenuhnya. Udara Pacet yang merupakan dataran tinggi di Mojokerto mulai merasukki tulang. 

                “Arang,”ucap Belinda. “Aku menamainya Arang.”

                “Arang?”

                “Ya,”sahut Belinda. Perempuan itu menimang anak kucing itu bagaikan menimang bayi. Anak kucing itu diam, tidak melakukan perlawanan. “Kau tahu, kan, arang berwarna hitam gelap.”

                “Ah!”

                “Bagaimana menurutmu?”

                “Bagus.”Mahendra melihat ke arah luar, “Sudah sangat gelap dan hujan sudah reda, aku harus pulang. Nenekku pasti cemas menungguku.”

                “Ya, tentu saja,”Belinda menyerahkan Arang kepada Mahendra. Dia mengelus bulu-bulu Arang sekali lagi, ketika anak kucing itu berpindah tangan, “Sampai jumpa, Arang.”

                Mahendra tersenyum. Belinda mengantar lelaki itu sampai pintu gerbang. Perkarangan rumah Belinda basah, akibat hujan deras tadi. Halaman rumahnya, diterangi lampu kuning sehingga terlihat temaram. 

                “Ah ya,”ucap Mahendra. “Aku bertanya-tanya, kenapa kau tidak mengunci pintu pagar ini?”tanyanya sembari menunjuk pintu pagar rumah Belinda. “Rumahmu jauh dari mana-mana, tetangga terdekat masih sepuluh meter dan yang aku tahu rumah itu jarang dihuni.”

                “Ah, ya. Aku merusaknya kemarin. Karena terburu-buru, sehingga aku menarik gemboknya terlalu keras. Dan yah, mungkin memang sudah waktunya diganti. Aku akan membelinya besok, kalau ingat.”

                “Kalau ingat? Kau harus ingat, kau tinggal sendirian dan tak memiliki tetangga,”ucap Mahendra serius. 

                “Bagaimana kau tahu aku tinggal sendirian?”Belinda menautkan kedua alisnya. 

                “Sampai selarut ini, tidak ada orang lain yang pulang. Dan kau tidak membicarakan siapapun denganku,”tebak Mahendra. “Apa aku salah menduga?”

                Belinda menarik sudut bibirnya, “Kau benar.”

                Mahendra tersenyum, merasa menang. “Pastikan kau mengunci semua pintu rumahmu.”

                “Tentu.”

                “Dan terima kasih sudah memberi Arang susu dan terima kasih untuk teh serta obrolannya. Senang bekernalan dengan kau.”

                “Sama-sama. Senang juga berkenalan dengan kau. Selamat malam.”

                “Malam.”

                Mahendra tersenyum untuk kali terakhir, kemudian membalikkan badannya. Dia berjalan kaki di bawah lampu temaram  pada sisi jalan. Belinda tersenyum, kemudian lelaki itu membalikkan badan dan melambaikan tangannya. Belinda hanya melihatnya, tidak membalas. Mahendra tersenyum dan kembali berjalan.

                Untuk kali pertama dalam dua tahun terakhir, hati Belinda menghangat. Dan dia mulai ketakutan.

***

Belinda kembali memunguti bunga hibukus kering yang jatuh di tepi jalan. Dia memaukkannya ke dalam kantong belanja, yang sudah berisi satu kilo buah apel malang, daun singkong, setengah kilo dada ayam, serta rempah-rempah lainnya. Hari ini, dia ingin memasak ayam panggang bumbu kacang dan lado daun singkong. 

                Belinda mengenakan rok polkadot putih dengan dasar kuning cerah dan sweater abu-abu berlengan panjang. Seperti biasanya, dia berjalan kaki ketika belanja meskipun jarak yang ditempuh cukup jauh. Hal ini, dijadikannya olahraga, karena dia cukup malas berolahraga. Sesampainya di depan rumah, ia sedikit terkejut, ketika mendapati Mahendra ada di halaman rumahnya.

                Lelaki itu sedang berjongkok bermain dengan Arang, anak kucing berwarna hitam pekat dengan mata berwarna biru. Di perkarangan rumah Belinda pun ada motor bebek berwarna hitam, nampaknya kepunyaan Mahendra. Dan, lelaki itu mengenakan seragam kerjanya, lengkap. 

                “Hai,”seru Mahendra, ketika mendapati Belinda di pintu gerbang. Lelaki itu lekas menghampiri Belinda. 

                “Hai,”balas Belinda. “Pagi sekali. Ada apa?”

                Mahendra mengulurkan sebuah gembok lengkap dengan kuncinya yang masih terbungkus rapi. “Pasti kau lupa. Jadi, kubelikan.”

                Belinda tersenyum, menerima gembok dari Mahendra. “Terima kasih. Berapa harganya, akan aku ganti.”

                “Tidak perlu, anggap saja hadiah perkenalan.”

                “Sungguh?”tanya Belinda, terkejut. Mahendra mengangguk. “Terima kasih banyak. Aku memang tidak tahu kapan bisa mampir ke toko untuk mencari gembok.”

                “Dapat salam dari nenekku, terima kasih sudah memberi Arang susu dan memberinya nama.”

                “Salam balik. Sama-sama,”sahut Belinda. Lalu, Mahendra mengulurkan kantong kecil berisi bunga-bunga segar. “Apa ini?”tanyanya, sembari menerima pemberian Mahendra. 

                “Itu bunga krisan. Dari nenekku, kata beliau bunga itu bisa dijadikan teh. Tapi, kau harus mengeringkannya dahulu.”

                Wajah Belinda semakin gembira, dia tidak menyangka akan mendapatkan hadiah sepagi ini. “Terima kasih banyak, aku senang sekali.”Dia tertawa kecil. “Kau memberiku banyak sekali hadiah,”ucapnya. 

                “Masih ada satu lagi,”tukas Mahendra. Dia berlari ke arah Arang yang sedang bermain rerumputan. Mahendra meraih anak kucing itu. “Kau bisa memiliki Arang.”

                “Sungguh?”Belinda menaikkan kedua alisnya, dia hampir menangis. “Terima kasih banyak.”Dia menghela napas. “Aku tidak mengira akan mendapatkan sebanyak ini. Terima kasih. Tolong sampaikan rasa terima kasihku pada nenekmu.”

                “Tentu,”sahut Mahendra. “Baiklah, aku harus berangkat kerja.”

                “Oh,”ucap Belinda. “Apa kau buru-buru?”

                Mahendra melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya. “Masih ada sepuluh sampai limabelas menit lagi,”jawabnya.

                “Aku akan membuatkanmu sarapan. Kau suka makan nasi goreng sepagi ini?”tanya Belinda. “Sebenarnya, hari ini aku akan membuat ayam panggang. Tapi, butuh waktu lama untuk memasaknya.”

                “Kalau tidak merepotkan, tidak masalah.”

                “Tentu tidak.”
***

Posting Komentar

0 Komentar