Advertisement

Main Ad

[Dialog After Wedding] Menemui Aldric di Kantor


 

Aku menemui Aldric di kantornya, ketika matahari bersinar begitu terik di atas kepalaku. Saking terik dan panasnya, mataku tak sanggup menatapnya. Aku menunduk menatap bayanganku sendiri. Satu tanganku terangkat menutup dahi, menghalau panas, yang sebenarnya tidak menolong sama sekali. Untungnya, aku sudah sampai di gedung tempat Aldric bekerja.


Omong-omong, Aldric yang kubicarakan di sini orang yang sama dengan orang yang muncul di kepala kalian. Ya, Aldric Rahardjo, pemilik pabrik cokelat yang terkenal itu. 


Ya. Aldric suami Keira.


Mungkin, kalian bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba aku membahas lelaki itu? Tiba-tiba saja, Aldric yang kita tahu, menyebalkan itu menjadi orang yang harus aku temui? Entahlah, aku merasa merindukannya. Sudahlah, aku tahu, kalian juga sama. Maka, kalian diam saja, biar aku menemui lelaki itu hari ini.


Bukan hal yang mudah menemui Aldric. Tentu, aku datang ke kantornya sebelum ini, berbicara ke resepsionis lalu aku dihubungkan dengan Dru- sekretarisnya yang tak kalah bawel dengan atasannya itu. Lalu, aku berkata pada Dru ingin bertemu dengan Aldric.


“Ada keperluan apa?” tanya Dru satu bulan lalu. Astaga, memang begitu, aku baru dapat lampu hijau dari lelaki itu setelah tanpa kepastian selama satu bulan. Gila, ‘kan? Dan, ini lagi, Dru bertanya dengan ketus di ujung telepon mengenai keperluanku bertemu dengan Aldric.


Kukatakan padanya, aku merindukan dia, ingin berdialog sebentar. 


“Sepertinya, sulit,” sahut Dru. Dahiku berkerut. Gila, belum apa-apa Dru sudah menolakku. “Aldric sangat sibuk.”


“Bagaimana kalau akhir pekan?” tawarku. Ya, aku tahu Aldric sibuk di hari kerja. Tapi, dia punya akhir pekan, ‘kan? Aku tidak masalah harus keluar rumah di akhir pekan.


“Justru di akhir pekan dia sangat sibuk,” sahut Dru lagi. Aku memijat keningku dengan gusar. Kenapa mereka begitu padaku? Setelah jasa-jasaku selama ini? Benar-benar gila. “Akhir pekan waktunya keluarga.”


Oke, baiklah. Aku suka dengan pilihan laki-laki itu.


“Lalu, kapan dia bisa menemuiku?” tanyaku.


“Aku akan bicarakan padanya. Nanti aku hubungi,” ucap Dru. Pada kenyataannya, aku yang menghubungi Dru terlebih dahulu dengan alasan nomorku tenggelam di antara ribuan nomor di ponselnya. Tidak masalah, yang penting sekarang aku bisa menemui Aldric dengan segudang pertanyaan.


Seperti kedatangan pertamaku satu bulan lalu, kutemui perempuan di balik meja resepsionis, kukatakan padanya aku ingin bertemu dengan Aldric dan sudah membuat janji dengannya. Perempuan itu tersenyum, kemudian mengarahkanku ke lift yang berada di sisi kanan. Setelah berkata terima kasih, aku langsung naik ke atas, ke kantor Aldric.


Sesampainya di atas, aku melihat beberapa pekerja yang sibuk di balik layar komputer pada kubikel-kubikel. Aku melihat ke sana kemari, mencari seseorang yaitu Drupadi. Tentu saja, aku harus menemuinya terlebih dahulu sebelum bertemu atasannya.


Saat ini jam makan siang, sepengetahuanku Aldric akan menyantap bekalnya di kantor sembari melakukan video call dengan istrinya, kalau tidak ada janji makan siang di luar dengan klien. Paling tidak, dia membutuhkan waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk melakukan itu. Itu berarti waktuku untuk bertemu dengannya tidak sampai tiga puluh menit. 


Aku menyusuri lorong di antara kubikel-kubikel itu, kemudian menghampiri perempuan yang sedang meregangkan tubuhnya itu. Aku tahu, dia Drupadi meskipun ini kali pertama kami bertemu.


“Halo,” sapaku. Perempuan itu menengadah, melihat ke arahku. Kedua matanya menyipit, kemudian seulas senyum mampir di bibirnya. Aku menarik napas lega. “Aku punya janji dengan Aldric,” kataku. Oh, ya, kalau kalian bertanya-tanya kenapa aku tidak sopan dengan memanggil Aldric tanpa embel-embel “Pak” nanti kalian akan tahu kenapa.


Drupadi berdiri, dia mengulurkan tangannya. “Aku Drupadi,” dia memperkenalkan diri. Aku tahu, batinku. Aku menyambut uluran tangannya, hanya sebentar. Lalu, dia melirik jam tangannya. “Kau bisa menunggu sebentar lagi. Aku akan menghubungi Pak Aldric terlebih dulu.”


Aku tersenyum. “Baiklah,” ucapku. Drupadi memintaku duduk di sofa tidak jauh dari meja kerjanya. Di ruangan itu terdapat satu set sofa dan meja, kemudian di sisi lain ada dispenser, tumpukan majalah dan buku. Di sisi lain ada kaca besar yang menunjukkan pemandangan Kota Surabaya. Drupadi memberiku secangkir cokelat hangat untuk menemaniku menunggu Aldric. Sejujurnya, aku lebih suka kopi. Tapi, cokelat juga enak. Aku tersenyum kepadanya sebagai tanda terima kasih.


Selama ini, aku tidak pernah menyangka bahwa Aldric sekaya ini. Terkadang, aku berpikir kenapa dia bisa jatuh cinta pada Keira dan mau menikah dengannya. Apakah dia benar-benar jatuh cinta pada istrinya itu atau dia jatuh cinta karena terbiasa bersama Keira? Itulah hal yang ingin kutanyakan padanya. Oleh sebab itu, waktu tiga puluh menit itu tidak akan kusia-siakan begitu saja.


Kalian tahu, rasanya sekarang aku seperti Anastasya dalam film Fifty Shades Of Grey. Oh, sial. Aku sudah membayangkan Aldric seperti Mr. Grey. Ah, yang benar saja? Kalian jangan berpikiran seperti itu, ya. Aldric sangat jauh berbeda dengan lelaki mesum itu.


Lima menit kemudian, sebelum aku menyentuh cokelatku, Drupadi memanggil. Dia berkata, Aldric sudah bisa ditemui di kantornya. Aku mengangguk dan berdiri. Ah, sialnya, tiba-tiba jantungku berdetak dengan cepat. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Aldric, meskipun hampir seluruh kisah Aldric kuketahui. 


Aku mengikuti Drupadi, kemudian dia berhenti di depan sebuah pintu. Drupadi mengetuk dua kali, kemudian membuka pintu itu. Setelah pintu terbuka, aku melihat lelaki itu. Dia melihat ke arah kami. Tiba-tiba kakiku membeku begitu memasuki ruangan itu. Tatapan kedua mata Aldric benar-benar membuat duniaku berubah. Lelaki itu … sungguh tampan. Detik itu juga aku menyadari sesuatu bahwa selama ini aku telah melewatkan banyak hal. Salah satunya adalah bahwa Keira sangat beruntung menikah dengan Aldric.


“Pak Aldric, ini yang saya ceritakan tempo hari.”


“Kau …”


“Wulan Kenanga,” sahutku. Aku berdeham sekali. “Penulismu.”


“Ah, ya, kau rupanya, orang yang membuat hidup kami jungkir balik.”


“Ya, itu aku,” sahutku.


Baiklah, saatnya mengulik lebih dalam mengenai lelaki ini.

***


Posting Komentar

2 Komentar

Terima kasih sudah berkomentar :)